7.1.4
Adanya Asosiasi
Kata-kata yang
digunakan di luar bidangnya, seperti dibicarakan di atas masih ada hubungan
atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan pada bidang asalnya. Agak
berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam
bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal
atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Umpamanya kata amplop
yang berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat, makna asalnya adalah
‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain
bisa dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang.
Oleh karena itu, dalam kalimat Beri saja amplop maka urusan pasti beres kata
amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat
atu tidak berisi apa-apa, melainkan uang sebagai sogokan.
Asosiasi antara amplop
dengan uang ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amlop tetapi yang dimaksud adalah
isinya, yaitu uang. Selain asosiasi yang berkenaan dengan wadah ada pula
asosiasi yang berkenaan dengan waktu. Misalnya perayaan 17 Agustus maksudnya tentu ‘perayaan hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia’ karena proklamasi tersebut terjadi pada tanggal
17 Agustus tersebut. Jadi disini, yang disebut waktunya tetapi yang dimaksud
adalah peristiwanya.
Ada pula perubahan makna akibat asosiasi yang berkenaan
dengan tempat. Yang disebut nama tempat tetapi yang dimaksud adalah hal lain
yang berkenaan dengan tempat itu. Umpamanya peristiwa
Madiun, tentu yang dimaksud adalah peristiwa pemberontakan PKI pada thun
1948 di Madiun.
7.1.5
Pertukaran Tanggapan Indera
Alat indera kita
yang lima sebenarnya sudah mempunyai tugas –tugas tertentu untuk menangkap
gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Umpamanya rasa pahit, getir, dan manis
harus ditanggap oleh alat perasa lidah. Rasa panas, dingin dan sejuk ditanggap
oleh alat perasa kulit.
Namun, didalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus
pertukaran tanggapan indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas,
misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah,
tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti kata-katanya cukup pedas. Atau kasar
yang harus ditanggap oleh alat indera perasa kulit, ditanggap oleh alat indera
penglihatan mata seperti dalam kalimat Tingkah Lakunya Kasar. Keadaan ini,
pertukaran alat indera penanggap, biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani sun artinya ‘sama’ dan aithetikas artinya ‘tampak’.
7.1.6
Perbedaan Tanggapan
Setiap unsure leksikal atau kata sebenarnya secara
sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan
hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak kata
yang memiliki nilai rasa “rendah”, kurang menyenangkan. Disamping itu ada juga
yang memiliki nilai rasa “tinggi” atau mengenakkan. Kata-kata yang niainya
merosot menjadi rendah ini lazimdisebut peyoratif, sedangkan yang nilainya baik
menjadi tinggi disebut amelioratif. Misalnya
kata bini dianggap sudah
peyoratif, sedangkan kata istri dianggap
amelioratif.
Nilai rasa peyoratif dan amelioratif kemungkinan besar
bersifat sinkronis. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Perkembangan
pandangan hidup biasanya sejalan dengan perkembangan budaya dan kemasyarakatan
dapat memungkinkan terjadinya perubahan nilai rasa peyoratif atau amelioratif
sebuah kata. Contoh, jamban dulu
dianggap bersifat peyoratif, oleh karena it orang tidak mau menggunakannya dan
menggantinya dengan kata kaku atau WC. Tetapi kata jamban itu telah
kehilangan sifat peyoratifnya karena pemerintah DKI secar resmi menggunakan
lagi kata itu sebagai istilah baku seperti dalam frase jamban keluarga.
Chaer Abdul.2002.
Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta . Rineka Cipta.
1.Perubahan
Makna Akibat Asosiasi
Selametmuljana
dalam Pateda (Semantik Leksikal 2001 : 178) mengatakan, “Yang dimaksud dengan
asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna didalam lingkungan tempat
tumbuh semula kata yang bersangkutan dengan makna yang baru ; yakni makna di
dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakaina bahasa. Antara
makna lama dan maknanya yang baru terdapat pertalian erat”.
Makna
leksikal kata asosiasi, yakni: (i) persatuan antara rekan usaha; persekutuan
dagang; (ii) perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama; (iii) tautan
dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian
antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra Depdikbud dalam Pateda (Semantik Leksikal 2001 : 179). Makna
kata asosiasi pada bagian ini lebih banyak berhubungan dengan makna (iii) di
atas. Contoh, dalam BI terdapat kata amplop.
Kalau kita mengurus sesuatu di kantor dan kemudian kawan kita “ Beri Ia amplop.” Maka asoaiasi kita bukan lagi
amplop yang berfungsi sebagai sampul surat, tetapi amplop yang berisi uang;
uang pelancar, uang pelican, uang sogok. Secara kasar, kawan kita berkata,
“Berilah ia uang agar urusanmu segera selesai.”
Makna
asosiasi dapat dihubungkan dengan waktu atau peristiwa. Tanggal 17 Agustus
adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Namun, kadang-kadang kita berkata
“Mari kita bertujuh belasan di Bandung.” Di sini yang di maksud bukan
peristiwanya, tetapi bergembira , merayakan peristiwa tersebut.
Makna
asosiasi dapat dihubungkan pula dengan tempat atau lokasi. Kalau ada orang
menyebut kata : Senayan, Monas, Banteng Grogol (semuanya ada di Jakarta), pasti
orang mengetahui tempat-tempat itu. Selanjutnya dapat dihubungkan dengan
warnamisalnya hijau, kuning, merah, putih. Misalnya sebuah kapal yang berlayar mendekat pelabuhan
dan di geladak kapal berkibar bendera kuning, maka petugas pelabuhan segera
menyediakan ambulan dan dokter; karena bendera berwarna kuning mengasosiasikan kita
dengan penyakit. Di sini terjadi perubahan makna, yakni bukan warna kuning,
tetapi pesan yang ditandai oleh bendera warna kuning.
Makna
asosiasi dapat pula dihubungkan dengan bunyi, misalnya kalau kita mendengar
bunyi sirine pada mobil ambulans, maka asosiasi berhubungan dengan; (i) ada
orang kecelakaan yang sedang dilarikan kerumah sakit; (ii)ada orang sakit yang
sedang dilarikan kerumah sakit; atau (iii) atau ada orang meninggal di rumah
dibawa kerummah duka atau kuburan dengan menggunakan mobil ambulans. Kalau
sirine itu datangnya dari mobil pemadam kebakaran, maka asosiasi kita langsung
pada peristiwa kebakaran sedangkan kalau sirine itu bersal dari mobil polisi
yang melaju di depan, maka asosiasi kita ada pembesar sedang lewat.
Makna
asosiasi boleh pula dihubungkan dengan lambing-lambang tertentu. Misalnya jika
kita sedang mengudara dan dibawah terlihat palang (+) hijau diatas warna putih,
asosiasi kita berhubungan dengan rumah sakit.
2.
Perubahan Makna Akibat Tanggapan Indra
Telah diketahui
bahwa indra manusia meliputi indra penciuman, indra pendengaran, indra
penglihatan, indra peraba dan indra perasa. Masing-masing indra menimbulkan
kelompok kata yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Indra penciuman
menghasilkan kelompok kata busuk, harum; indra pendengaran menghasilkan kata
keras, lembut, merdu; indra penglihatan menimbulkan kata gelap, jelas, kabur,
terang; indra peraba menimbulkan kata halus, kasar; sedangkan indra perasa
menghasilkan kata benci, jengkel, iba, kasihan, rindu, sedih.
Akibat
pertukaran indra, disebut sinestesi (kata Yunani ; sun =sama dan aesthetikos =
tampak). Pertukaran indra dimaksud, misalnya indra pendengaran dengan indra penglihatan,
indra perasa ke indra penglihatan. Misalnya, kata terang, seperti telah
dikatakan di atas berhubung dengan indra penglihatan, tetapi kalau orang
berkata “suaranya terang” maka hal itu
berhubungan dengan pendengaran. Makna kata terang yakni ada matahari atau cukup
cahaya, berubah menjadi jelas.
Dalam
BI terdapat kata manis. Kata ini berhubungan dengan indra perasa. Tetapi kalau
orang berkata “Rupanya manis sekali” maka kata manis pada kalimat tersebut
tidak berhubungan dengan indra perasa lagi, tetapi sudah dihubungkan dengan
indra penglihatan. Maknanya tidak berhubungan dengan nilai rasa , tetapi cantik,
menarik, komposisi baju yang cocok.
Selanjutnya
kata manis, pedas, pahit, selalu dihubungkan dengan indra perasa, tetapi kalau
orang berkata “kata yang manis enak didengar” atau “kata2nya sangat pedas kami
rasakan” maka kata manis, pahit, pdas tidak beleh dhubungkan dengan makna yang
berhubungan dengan indra perasa tetapi makna yg berhubungan dengan indra pendengaran.
Pateda Mansur. 2001.
Semantik Leksikal. Jakarta. Rineka Cipta.
1.Perubahan
Makna akibat Asosiasi
Yang
dimaksud dengan adanya asosiasi adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk
ujaran dengan sesuatu bentuk yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu,
sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah
sesuatu yang berkenaan dengan ujaran itu. Umpamanya, kata amplop. Makna amplop
sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Tetapi dalam kalimat atau contoh dibawah ini,
amplop bermakna ‘uang sogok’.
·
Supaya urusan cepat beres, beri saja
amplop.
Kata
amplop yang sebenarnya harus berisi surat, tetapi dalam kalimat itu berisi uang
sogok. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok. Asosiasi
juga dapat berupa hubungan dengan wadah atau tempat isinya, seperti amplop
dengan uang sogok diatas, selain itu asosiasi dapat juga berupa hubungan waktu
dengan kejadian, seperti dalam kalimat berikut :
·
Memeriahkan perayaan 17 Agustus → asosiasi
waktu dan kejadian
·
Diterima Presiden di Bina Graha → asosiasi tempat
2.Asosiasi
akibat Pertukaran Tanggapan Indra
Alat indra kita yang lima, mempunyai bfungsi
masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya,
rasa getir, panas, dan asin ditangkapdengan alat indra perasa yaitu lidah;
gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap oleh alat indra pendengaran kta
yaitu telinga; dan gejala terang, gelap ditangkapa alat indra penglihatan yaitu
mata. Namun dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran
pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia. Misalnya,
rasa seperti dalam ujaran :
·
Kata-katanya sangat pedas dan →kata pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa
(lidah) menjadi ditanggap oleh alat indra pendengaran (telinga).
·
Bentuknya sangat manis → kata manis yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa
(lidah) menjadi ditanggap oleh alat indra penglihatan (mata)
Perubahan
tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestesia.
Abdul Chaer. 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar